Filsafat
Eksistensialisme
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang
dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre
menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède
l'essence). Artinya, manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis
terlebih dahulu dan esensinya itu akan muncul ketika manusia mati. Dengan kata
lain, manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia
tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena
itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan
manusia (L'homme est condamné à être libre). Manusia menurut Sartre
ialah sebagai berikut :
1) Eksistensi Mendahului Esensi
Eksistensi mendahului esensi (Existence
comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting dalam bangunan
eksistensialime Sartre. Apa yang sekiranya dimaksudkan Sartre dengan konsep
ini? Sartre sejatinya berupaya mengukuhkan subjektivitas manusia dan di sisi
lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala argumentasi yang
menyokongnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan seperti berada pada
polaritas yang berbeda dan saling meniadakan. Untuk mengukuhkan
subjektivitasnya, manusia mesti menyingkirkan Tuhankarena subjektivitas tak
pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme.
Untuk menjelaskan konsep eksistensi
mendahului esensi, Sartre memulainya dengan memakai contoh pembuatan pisau
kertas (paper-knife) oleh seorang artisan. Apa yang terlebih dahulu exist tentu
bukan produk material pisau, tetapi segala konsep tentang pisau entah bentuk,
cara pembuatan, maksud dan cara penggunannya. Konsep ini bercokol dalam benak
artisan sebagai pre-existent technique. Tapi logika ini adalah logika esensi
mendahului eksistensi, jalan berpikir yang tidak bisa dikenakan pada Tuhan yang
de facto tidak bereksistensi. Ketika menyebut Tuhan sebagai Pencipta,
sebetulnya kita sedang mengenakan pada Tuhanmodel kerja seorang artisan. Ketika
menciptakan manusia, kita menganggap bahwa dalam benak Tuhan telah bercokol
berbagai konsep tentang esensi manusia entah kodrat manusia sebagai makhluk
rasional, citra Tuhan, ens sociale, dan sebagainya.
Konsep seperti inilah yang ditentang Sartre
melalui eksistensialisme ateistiknya: “Oleh karena Tuhan tidak exist maka
setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya, makhluk
yang ada sebelumnya dapat dibatasi oleh konsep-konsep tentang eksistensinya.
Makhluk itu adalah manusia.” Dengan tesis inilah, Sartre menegaskan hakikat
manusia sebagai being yang eksistensinya ada sebelum esensinya. Di sisi lain,
keberadaan Tuhan dibatasi oleh berbagai definisi manusia tentang eksistensinya
sendiri. Artinya, Tuhan ada sejauh manusia mendefinisikannya atau
tegasnya,Tuhan melulu merupakan ciptaan atau buah pengatribusian oleh manusia
saja.
Sampai di sini, pertanyaan yang mendesak
diajukan adalah profil manusia macam manakah yang dimaksudkan Sartre dengan
‘manusia yang bereksistensi sebelum esensi?’ Pertama, Manusia sebagai Adalah.
Eksistensi mendahului esensi berarti bahwa “manusia pertama-tama itu ada,
menjumpai dirinya, mentas ke dalam dunia dan kemudian mendefinisikan siapa
dirinya.” Manusia bukan apa-apa sebelum ia menjadi apa yang dikehendakinya sendiri
untuk menjadi. Dengan kata lain, pada awal keberadaannya manusia tidak
mengenakan definisi apapun tentang dirinya. Dalam arti inilah, Sartre menolak
segala konsepsi tentang kodrat manusia sebab tidak ada Tuhan yang memiliki
konsepsi apapun tentang manusia. Sebagai makhluk yang bereksistensi sebelum
esensi, manusia tidak terikat atau terbelenggu pada berbagai pasokan definisi
tentangnya. Manusia berkebebasan menentukan sendiri siapakah dirinya. Manusia
ibarat buku tulis kosong yang kemudian di sepanjang hidupnya menyusun isi
bukunya dengan tulisan-tulisan tangannya sendiri. Manusialah yang membentuk
dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Sartre menyebut manusia sebagai adalah (Man
simply is). Manusia selalu terus-menerus bergerak maju memformulasi dirinya.
Pada titik ini kita menemukan nilai
intrinsik tanggung jawab dalam kemanusiaan manusia. Sartre berujar “Manusia
bukan apa-apa tetapi apa yang ia lakukan pada dirinya sendiri.” Artinya,
manusia sepenuhnya adalah apa yang ia kehendaki sendiri. Dalam arti ini, Sartre
hendak menegaskan bahwa sejak keberadaannya, setiap manusia memikul tanggung
jawab untuk menentukan dirinya sendiri dalam ruang kehidupannya masing-masing.
Dengan demikian, pengaruh pertama eksistensialisme menurut Sartre adalah
menempatkan setiap manusia pada kepemilikan atas dirinya sendiri sebagaimana
adanya dia, dan menaruh seluruh tanggung jawab atas keberadaannya di atas
pundaknya sendiri. Maka karakter kedua manusia versi Sartre adalah manusia yang
bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Sampai di sini bukankah kita mendapatkan
kesan bahwa manusia Sartrian adalah subjek-subjek tertutup yang semata-mata
bertanggung jawab atas dirinya sendiri, yang keberadaannya melulu bernilai
untuk dirinya? Di manakah letak tanggung jawab terhadap sosialitasnya? Untuk
mengatasi ekstremitas kesan ini, Sartre berupaya membuat dua arti berbeda
terhadap konsep subjektivismenya. Subjektivisme di satu sisi berarti kebebasan
individual subjek yakni kebebasan dalam memilih dan menentukan hidupnya
sendiri. Di sisi lain, termuat arti bahwa manusia tidak dapat melampaui
subjektivitas manusia. Ketika manusia memutuskan memilih sesuatu dalam konteks
mewujudkan dirinya tentulah ia memilih apa yang bernilai baik untuk dirinya dan
dengan sendirinya pilihan itu bernilai baik untuk sesamanya. Dalam arti inilah
Sartre melihat letak tanggung jawab individualitas seseorang pada sesamanya.
Oleh karena itu, manusia Sartrian bukan saja bertanggung jawab atas hidupnya
sendiri tetapi juga bertanggung jawab atas kemanusiaan sesamanya.Meskipun
menurut saya, konsep ini menyisakan celah untuk dipersoalkan. Bukankah
keputusan bernilai sedemikian subyektifnya sehingga tidak bisa diberlakukan
secara objektif?
2) Humanisme Radikal
Sartre juga mengemukakan konsepnya tentang
humanisme. Humanisme Sartrian pertama-tama berkarakter radikal karena
menyingkirkan sama sekali nilai-nilai yang diproduksi oleh kepercayaan kepada
Tuhan pun segala norma yang terkait dengannya. Hanya dengan begitu, setiap
manusia dapat menemukan ruang untuk berkreasi menghasilkan nilai-nilai yang
digumulinya dalam hidup. Dengan kata lain, penyingkiran Tuhan adalah
satu-satunya cara tepat yang memungkinkan manusia menghidupi hndividualitasnya.
Itulah sebabnya dengan mengutip perkataan Dostoyevsky, Sartre berkata, “Jika
Tuhan tidak ada, segala sesuatu akan menjadi mungkin.” Manusia akan lepas dari
cengkeraman kebenaran-kebenaran yang diproduksi dari luar, bebas dari beragam
determinasi religius-etis dan menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Dengan konsep ini, humanisme Sartrian sebetulnya
melaunching hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas. Manusia menggenggam
dalam tangannya sendiri kebebasan untuk menentukan hidupnya. Dalam arti ini,
kebebasan yang dimaksud Sartre tidak melulu berupa kondisi bebas dari tekanan
dan determinasi, tetapi juga keleluasaan di dalam menjalankan tanggung jawab
dan tindakan yang perlu bagi kemanusiaannya. Manusia selalu berupa aksi dan
kreasi merealisasikan diri. “Ia tidak dapat lain selain serangkaian tindakan
dengan dirinya sebagai rangkaian, organisasi, sekumpulan relasi yang menetapkan
tindakan-tindakan ini”, begitu kata Sartre. Menentang tuduhan para komunis,
Sartre menampilkan model manusia eksistensialnya sebagai manusia yang tidak
berkubang dalam quetisme, tetapi bergerak maju merealisasikan diri. Manusia
seperti ini memiliki komitmen-diri (self-commitment) atas kehidupannya dan
karena itu selalu melibatkan dirinya melalui pilihan tindakan-tindakan
subyektifnya.
Manusia versi Sartre memang bukan manusia
yang cukup-diri. Kehadirannya selalu merupakan proyek yang belum tuntas
terselesaikan. Nilai dan makna dari kemanusiaan manusia senantiasa ditentukan
oleh setiap pilihan yang dibuat dan komitmen yang dijalani. Sehingga segala hal
untuk, katakanlah kesempurnaan bagaimana menjadi manusia, sebetulnya terletak
sepenuhnya pada manusia. Tetapi dengan ini Sartre tidak memaksudkan pandangan
humanisme tradisional yang menempatkan manusia sebagai tujuan dari dirinya
sendiri atau manusia sebagai nilai tertinggi. Sebab kemudian Sartre
mengkonsepkan adanya tujuan-tujuan transenden yang pencapaiannya dimungkinkan
oleh sifat manusia sebagai makhluk yang mampu melampaui dirinya
(self-surpassing). Pelampauan atau transendensi ini tidak terarah pada tujuan
tertentu seperti halnya dalam bahasa kristianitas,‘keserupaan dengan Allah’
atau ‘keselamatan kekal’. Manusia hanya perlu berupaya menyempurnakan
kesadarannya sebagai manusia bebas dan bahwa keberlangsungannya bergantung
sepenuhnya pada totalitas tindakan yang dipilihnya setiap hari. Dengan begitu
manusia memang memberi jaminan untuk kehidupannya sendiri.
Kritik dan Aktualitasnya
1. Pembuktian Ketidakadaan Tuhan
Eksistensialisme ateistik Sartre memang
telah memberangus keberadaan Tuhan. Secara eksplisit Sartre berujar bahwa
gagasan “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu menjadi mungkin” merupakan poin
awal yang penting bagi proyek eksistensialismenya. Ini berarti segala konsep
tentang manusia sebagai ‘adalah’, ‘individu yang bebas’, ‘proyek yang tak
pernah selesai’, ‘yang menentukan hidupnya sendiri’ merupakan buah dari
pemberangusan Tuhan. Manusia sedemikian terisolir, sendirian, terlempar begitu
saja ke dalam dunia dan karena itu memikul tanggung jawab besar untuk realisasi
kemanusiaannya. Sebuah gambaran yang diandaikan tidak akan tercipta bila Sartre
tidak menendang Tuhan jauh-jauh.
Dalam konteks ini penulis menilai bahwa
Sartre sebetulnya tidak memberikan argumen yang adequat tentang ketidakadaan
Tuhan. Sartre hanya menempatkan ketidakadaan Tuhan sebagai kondisi atau
proposisi yang perlu untuk melegitimasi rangkaian konsepnya tentang
subjektivisme manusia. Baginya ketiadaan Tuhan harus menjadi alasan yang mutlak
perlu untuk menunjukkan kemandirian dan otonomitas absolut manusia atas
hidupnya sendiri. Dengan tidak diikat oleh sistem nilai dan norma religius-etis,
manusia sangat berpeluang mengaktivasi kebebasan dan tanggung jawab individual,
merakit nilai-nilai secara selektif untuk kepentingannya saja tanpa perlu
menanggung beban nilai produksi eksternal. Tapi bukankah dengan merampas
legitimitas kebenaran tertinggi dari Sang Tuhan, Sartre merancang relativisasi
kebenaran? Kebenaran menjadi sedemikian subjektif dan dalam hal ini argumen
nilai tanggung jawab manusia pada sesamanya melalui pilihannya menjadi tidak
dapat dipertanggungjawabkan lagi. Jika misalnya kodrat kebernilaian manusia
direlativisir, bagaimana mungkin Sartre menjadi sedemikian naif dengan
merelakan pembasmian atas hak hidup sesamanya entah dalam perang atau aborsi
dengan mengatasnamakan kebenaran subjektif belaka?
Sartre adalah anak zamannya. Ia hidup di
tengah berkecamuknya perang dunia II, bergelut dengan perdebatan politik
seputar dekolonialisasi Aljazair dan berkecimpung dalam upaya menelusuri
jejak-jejak kekejaman Nazi Jerman. Kenyataan penderitaan dan kematian banyak
manusia barangkali menjadi alasan bagi penendangan Tuhan dan segala sistem
normanya. Sartre tidak mendapatkan kepastian kehadiran Tuhan di tengah situasi
eksistensial seperti itu. Jika Tuhan dan agamanya tidak bertindak apapun maka
di tangan manusialah perubahan itu semestinya dimulai. Manusialah yang mesti
menentukan nasib dan keselamatannya sendiri. Itulah arti terdalam dari menjadi
manusia.
Setiap fenomena eksistensial macam
kecemasan, penderitaan dan kematian oleh bencana dan perang misalnya, memang
menjadi saat-saat menentukan bagi manusia dan disposisi keberimananya pada
Tuhan yang disembahnya. Seperti Sartre orang bisa menjadi sedemikian yakin
bahwa Tuhan yang terkesan pendiam dan cuek itu tidak benar-benar ada. Tuhan
hanyalah ciptaan, produk ketidaksanggupan manusia menentukan hidupnya sendiri.
Pada titik ini Sөren Kierkegaard, seorang eksistensialis Kristen tampil
mencerahkan kita melalui konsep ‘kebenaran sebagai subjektivitasnya’. Untuk
dapat beriman kepada Tuhan, manusia perlu melakukan lompatan iman, bergerak mengatasi
segala ketidakmungkinan mendapatkan kepastian objektif tentang Tuhan. Dengan
kata lain, beriman tidak mengisyratkan secara mutlak kebenaran objektif tentang
keberadaan Tuhan sebab itu berada di luar kompetensi manusia sebagai yang
terbatas. Manusia hanya cukup memeluk keyakinan subjektifnya bahwa Tuhan ada
dan selanjutnya menghidupi keyakinan itu dengan penuh hasrat dalam
kesehariannya.
2. Pemaknaan Kebebasan
Sartre begitu mendewa-dewakan
kebebasan.Kebebasan menjadi unsur konstitutif eksistensi manusia, hal yang
memungkinkan realisasi-diri dan pemaknaan kehidupannya. Tetapi menjadi terlalu
naif ketika Sartre merangkum totalitas manusia sebagai kebebasan. Pandangan ini
sedemikian ilusif sebab hampir tak pernah ada kebebasan yang murni. Dalam kajian
para strukturalis macam Jacques Lacan misalnya, manusia sejak kecil telah
direnggut oleh sistem sosial, dikuasai oleh bahasa orang tua, disituasikan dan
ditentukan oleh nama dan beragam peran sosial yang diembannya. Maka dalam
konteks ini, pemaknaan kebebasan Sartrian mesti menemukan artikulasinya yang
realistis.
Di masa sekarang, keseharian manusia
ditandai oleh himpitan interpelatif beragam citra dan makna terberi yang
diproduksi oleh sistem-sistem massa. Kehadiran media komunikasi massa macam
televisi dan internet berikut segala tampilannya entah gambar, iklan, sinetron
ataupun jejaring sosial sungguh merangsang reduktifikasi pemaknaan kemanusiaan.
Orang ramai-ramai mengidentifikasikan diri dengan artis-artis idolanya, dengan
karakter yang diproduksi sinetron dan film, atau melalui modus konsumsi mereka
berupaya mengasimilasi makna yang melekat erat di balik materi atau gaya hidup
tertentu. Bukankah kesadaran diri ini menjadi sedemikian manipulatif sebab
lahir sebagai produk determinasi struktur sosial belaka?
Sartre tentu akan menggugat pemaknaan
manusia yang artifisial seperti ini. Manusia selalu berada dalam proses dan
karena itu apa-apa yang digumuli dalam dunia tidak pernah memberikan
keselesaian bagi proses pergumulannya. Manusia tidak dapat didefinisikan secara
terbatas sebab manusia adalah totalitas tindakan dan pergumulannya di sepanjang
hidupnya. Maka konsep kebebasan Sartre menawarkan penciptaan ruang
terus-menerus bagi kreasi dan kreativitas memberi makna bagi kemanusiaan
manusia dengan membebaskan diri dari belenggu pencitraan sosial. Manusia selalu
terbuka pada kemungkinan-kemungkinan, tidak cukup-diri, tetapi selalu terjun ke
dalam pergumulan dengan menggenggam komitmen merengkuh kesadaran bahwa dirinya
ikut bertanggung jawab(untuk tidak jatuh pada subjektivitas Sartrian yang
terkesan tertutup dan antroposentrik) atas eksistensinya sebagai manusia dan
sosialitasnya.
Kajian konsep Sartre tentang manusia
merupakan tema yang sebetulnya kaya pun dalam hal implikasinya. Pembahasan
paper ini mungkin sangat terbatas sebab hanya merupakan upaya meneropong konsep
Sartre dalam bukunya, Existensialism is a Humanism. Maka kajian ‘manusia
menurut Jean-Paul Satre” senantiasa terbuka bagi eksplorasi lanjut melalui
perspektif karya-karya eksistensialismenya yang lain.
Referensi