Sabtu, 24 Juni 2017

Hakekat Manusia Menurut Karl Marx



Karl Heinrich Marx (lahir di Trier, Prusia, 5 Mei 1818 – meninggal di London, Inggris, 14 Maret 1883 pada umur 64 tahun) adalah seorang filsuf, tokoh sosiologi, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia.
Walaupun Marx menulis tentang banyak hal semasa hidupnya, ia paling terkenal atas analisisnya terhadap sejarah, terutama mengenai pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai "Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas", sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari Manifesto Komunis.

Watak Manusia
Marx melontarkan ide bahwa manusia adalah Quo manusia entitas yang dapat dikenali dan diketahui, bahwa manusia dapat didefinisikan sebagai manusia bukan hanya secara biologis, anatomis, dan fisik tetapi juga secara psikologis. Ada dua hasrat dalam diri manusia menurut Marx yakni dorongan konstan atau tetap seperti lapar, nafsu seksual yang merupakan bagian integral dalam watak manusia, dan dorongan yang relatif yang merupakan bagian integral dalam watak manusia tetapi berasal dari struktur sosial. Manusia benar-benar berubah sepanjang sejarah, mengembangkan dirinya, dia adalah produk sejarah. Sejarah adalah sejarah perwujudan diri manusia. keseluruhan dari apa yang disebut sejarah tidak lain adalah penciptaan manusia oleh tenaga buruh, dan terciptanya alam bagi manusia.  oleh karenanya manusia memiliki bukti yang tidak dapat disangkal atau penciptaan dirinya atas asal-usulnya.

Aktivitas Diri Manusia
Bagi Marx manusia akan hidup hanya jika ia produktif, menguasai dirinya dengan tindakan untuk mengkspresikan kekuasaan manusiawinya yang khusus. Ekspresi diri manusia ini teraktualisasi dalam kerja. Yang menjadi titik awal bagi  analisis Marx ialah teori ekonomi klasik yaitu teori nilai kerja. Dalam mengekspresikan dirinya dibutuhkan kemerdekan dan kebebasan. Kemerdekaan dan kebebasan baginya didasarkan pada perilaku menciptakan diri. Seorang manusia tidak akan merdeka jika ia tidak menjadi majikan bagi dirinya sendiri, dan dia hanya dapat menjadi majikan bagi dirinya sendiri ketika meminjamkan eksistensinya untuk dirinya sendiri.
Buruh adalah sebuah proses dimana manusia dan alam berpartisipasi dan dimana manusia  dengan kehendak sendiri memulai, mengatur dan mengendalikan hubungan material antara dirinya dengan alam. Manusia mempertentangkan dirinya dengan alam sebagai salah satu kekuatannya sendiri yang menggerakkan tangan dan kaki, kepala dan tangan, kekuatan alam dari tubuhnya dalam rangka mengakprosi produksi alam dalam bentuk yang sesuai dengan keinginannya sendiri.

Konsep Sosialis Marx
Dalam konsepnya terhadap sosialis, Marx mengatakan bahwa individu berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan.  Sosialisme bagi Marx adalah sebuah masyarakat yang memberi ruang bagi aktualisasi esensi manusia, dengan cara mengatasi alienasinya, sebuah masyarakat yang melayani kebutuhan manusia. Sosialisme tidak kurang dari menciptakan kondisi-kondisi untuk mencapai manusia yang benar-benar bebas, rasional, aktif dan independen. Visi Marx didasarkan atas keyakinannya pada manusia, pada  potensialitas   esensi manusia yang nyata dan berkembang dalam sejarah. Dia menganggap sosialisme sebagai syarat kebebasan dan kreativitas manusia bukan sekedar dengan sendirinya menjadi tujuan hidup manusia. Sosialisme itu anti otoriter, sejauh berkenaan dengan gereja dan negara, sehingga sosialisme pada akhirnya bertujuan untuk melenyapkan negara dan kemudian membangun sebuah masyarakat yang tersusun atas individu-individu yang saling bekerja sama secara suka rela. Tujuan ini merupakan tujuan rekonstruksi masyarakat.

Konsep Humanisme Marx
Dehumanisme Dalam Produksi Kapitalis
            Dehumanisme manusia dalam produksi kapitalis Marx menyebutnya alienasi atau keterasingan. Buruh bekerja bagi kekuatan asing, bagi pemilik modal. Sehingga dari sini dapat dilihat bahwa  pekerjaannya adalah kerja paksa. Oleh karena itu buruh baru kerasan di luar pekerjaan dan dalam pekerjaan ia merasa di luar dirinya. Ia pada dirinya sendiri apabila ia tidak berkerja dan apabila ia berkerja ia tidak pada dirinya sendiri.  Sekaligus hubungannya dengan manusia lain diracuni, ia bertemu dengannya bukan sebagai rekan manusia melainkan sebagai pemilik modal, jadi sebagai penghisap atau sebagai buruh jadi sebagai saingan tempat kerjanya. Demikian pekerjaan di bawah komando modal menghasilkan keterasingan manusia dari hakekatnya. Kekuatan-kekuatan hakekat manusia yang diobjektifkan melalui pekerjaan melepaskan diri dan berdiri sendiri, mereka sekarang merupakan kekuatan yang berhadapan dengan manusia dan memperbudaknya. Manusia terpisah dari kemungkinan untuk merealisasikan hakekatnya sendiri.

Masyarakat Yang Teremansipasi
Manusia adalah makluk spesies, tidak saja karena secara praktik dan teoretis ia menjadikan spesies baik sebagai obyeknya sendiri maupun obyek-obyek makluk lain sebagai obyeknya tapi juga karena ia memperlakukan dirinya sendiri sebagai makluk universal dan karenanya ia adalah makluk yang bebas.
Keseluruhan kosep Marx tentang perwujudan diri manusia dapat sepenuhnya dipahami hanya dalam kaitannya dengan konsepnya tentang kerja. Buruh adalah suatu proses di mana manusia dan alam berpartisipasi, dan di mana manusia dengan kehendak sendiri memulai, mengatur dan mengendalikan hubungan material antara dirinya dengan alam. Buruh adalah tindakan manusia, sebuah ungkapan kekuasaan fisik dan mental individual. Dalam proses aktivitas yang asli ini, manusia mengembangkan dirinya, menjadi dirinya, pekerjaan bukan alat untuk mencapai tujuan produk, tetapi tujuan itu sendiri ungkapan esensi manusia yang bermakna.
Marx yang selalu menyangkal bahwa  teorinya mengandaikan penilaian-penilaian tertentu ternyata beropersi atas dasar penilaian-penilaian moral tertentu, kelihatan juga di mana ia mencoba memuaskan bagaimana bentuk sosial yang tidak terasing itu. Emansipasi manusia dipahami sebagai perealisasian diri yang menyeluruh dan bebas dari segala heteronomi. Dalam masyarakat komunis tidak ada pelukis, melainkan paling-paling manusia yang antara lain juga melukis.

  DAFTAR PUSTAKA
 Terrel Carver (Ed), The Cambridge Companion To Marx, (Amerika : Cambridge university Press, 1991)
Frans Magis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2001 )
Erich From, Marx’s Concept of Man (Konsep Manusia Menurut Marx), Agung Prihantoro (penerj), (yogyakarta:Pustaka pelajar, 2002
Mikhael newman,  Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif  Bagi Neoliberalisme, (Yogyakarta, Nailil Printika, 2006
F. budi Hardiman, Filsafat Modern (dari MArchiaveli sampai Nietzsche),(Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007)

Rabu, 14 Juni 2017

JEAN PAUL SARTRE



Filsafat Eksistensialisme

Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Artinya, manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu dan esensinya itu akan muncul ketika manusia mati. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Manusia menurut Sartre ialah sebagai berikut :
1) Eksistensi Mendahului Esensi
Eksistensi mendahului esensi (Existence comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting dalam bangunan eksistensialime Sartre. Apa yang sekiranya dimaksudkan Sartre dengan konsep ini? Sartre sejatinya berupaya mengukuhkan subjektivitas manusia dan di sisi lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala argumentasi yang menyokongnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan seperti berada pada polaritas yang berbeda dan saling meniadakan. Untuk mengukuhkan subjektivitasnya, manusia mesti menyingkirkan Tuhankarena subjektivitas tak pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme.
Untuk menjelaskan konsep eksistensi mendahului esensi, Sartre memulainya dengan memakai contoh pembuatan pisau kertas (paper-knife) oleh seorang artisan. Apa yang terlebih dahulu exist tentu bukan produk material pisau, tetapi segala konsep tentang pisau entah bentuk, cara pembuatan, maksud dan cara penggunannya. Konsep ini bercokol dalam benak artisan sebagai pre-existent technique. Tapi logika ini adalah logika esensi mendahului eksistensi, jalan berpikir yang tidak bisa dikenakan pada Tuhan yang de facto tidak bereksistensi. Ketika menyebut Tuhan sebagai Pencipta, sebetulnya kita sedang mengenakan pada Tuhanmodel kerja seorang artisan. Ketika menciptakan manusia, kita menganggap bahwa dalam benak Tuhan telah bercokol berbagai konsep tentang esensi manusia entah kodrat manusia sebagai makhluk rasional, citra Tuhan, ens sociale, dan sebagainya.
Konsep seperti inilah yang ditentang Sartre melalui eksistensialisme ateistiknya: “Oleh karena Tuhan tidak exist maka setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelumnya dapat dibatasi oleh konsep-konsep tentang eksistensinya. Makhluk itu adalah manusia.” Dengan tesis inilah, Sartre menegaskan hakikat manusia sebagai being yang eksistensinya ada sebelum esensinya. Di sisi lain, keberadaan Tuhan dibatasi oleh berbagai definisi manusia tentang eksistensinya sendiri. Artinya, Tuhan ada sejauh manusia mendefinisikannya atau tegasnya,Tuhan melulu merupakan ciptaan atau buah pengatribusian oleh manusia saja.
Sampai di sini, pertanyaan yang mendesak diajukan adalah profil manusia macam manakah yang dimaksudkan Sartre dengan ‘manusia yang bereksistensi sebelum esensi?’ Pertama, Manusia sebagai Adalah. Eksistensi mendahului esensi berarti bahwa “manusia pertama-tama itu ada, menjumpai dirinya, mentas ke dalam dunia dan kemudian mendefinisikan siapa dirinya.” Manusia bukan apa-apa sebelum ia menjadi apa yang dikehendakinya sendiri untuk menjadi. Dengan kata lain, pada awal keberadaannya manusia tidak mengenakan definisi apapun tentang dirinya. Dalam arti inilah, Sartre menolak segala konsepsi tentang kodrat manusia sebab tidak ada Tuhan yang memiliki konsepsi apapun tentang manusia. Sebagai makhluk yang bereksistensi sebelum esensi, manusia tidak terikat atau terbelenggu pada berbagai pasokan definisi tentangnya. Manusia berkebebasan menentukan sendiri siapakah dirinya. Manusia ibarat buku tulis kosong yang kemudian di sepanjang hidupnya menyusun isi bukunya dengan tulisan-tulisan tangannya sendiri. Manusialah yang membentuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya, Sartre menyebut manusia sebagai adalah (Man simply is). Manusia selalu terus-menerus bergerak maju memformulasi dirinya.
Pada titik ini kita menemukan nilai intrinsik tanggung jawab dalam kemanusiaan manusia. Sartre berujar “Manusia bukan apa-apa tetapi apa yang ia lakukan pada dirinya sendiri.” Artinya, manusia sepenuhnya adalah apa yang ia kehendaki sendiri. Dalam arti ini, Sartre hendak menegaskan bahwa sejak keberadaannya, setiap manusia memikul tanggung jawab untuk menentukan dirinya sendiri dalam ruang kehidupannya masing-masing. Dengan demikian, pengaruh pertama eksistensialisme menurut Sartre adalah menempatkan setiap manusia pada kepemilikan atas dirinya sendiri sebagaimana adanya dia, dan menaruh seluruh tanggung jawab atas keberadaannya di atas pundaknya sendiri. Maka karakter kedua manusia versi Sartre adalah manusia yang bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Sampai di sini bukankah kita mendapatkan kesan bahwa manusia Sartrian adalah subjek-subjek tertutup yang semata-mata bertanggung jawab atas dirinya sendiri, yang keberadaannya melulu bernilai untuk dirinya? Di manakah letak tanggung jawab terhadap sosialitasnya? Untuk mengatasi ekstremitas kesan ini, Sartre berupaya membuat dua arti berbeda terhadap konsep subjektivismenya. Subjektivisme di satu sisi berarti kebebasan individual subjek yakni kebebasan dalam memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Di sisi lain, termuat arti bahwa manusia tidak dapat melampaui subjektivitas manusia. Ketika manusia memutuskan memilih sesuatu dalam konteks mewujudkan dirinya tentulah ia memilih apa yang bernilai baik untuk dirinya dan dengan sendirinya pilihan itu bernilai baik untuk sesamanya. Dalam arti inilah Sartre melihat letak tanggung jawab individualitas seseorang pada sesamanya. Oleh karena itu, manusia Sartrian bukan saja bertanggung jawab atas hidupnya sendiri tetapi juga bertanggung jawab atas kemanusiaan sesamanya.Meskipun menurut saya, konsep ini menyisakan celah untuk dipersoalkan. Bukankah keputusan bernilai sedemikian subyektifnya sehingga tidak bisa diberlakukan secara objektif?

2) Humanisme Radikal
Sartre juga mengemukakan konsepnya tentang humanisme. Humanisme Sartrian pertama-tama berkarakter radikal karena menyingkirkan sama sekali nilai-nilai yang diproduksi oleh kepercayaan kepada Tuhan pun segala norma yang terkait dengannya. Hanya dengan begitu, setiap manusia dapat menemukan ruang untuk berkreasi menghasilkan nilai-nilai yang digumulinya dalam hidup. Dengan kata lain, penyingkiran Tuhan adalah satu-satunya cara tepat yang memungkinkan manusia menghidupi hndividualitasnya. Itulah sebabnya dengan mengutip perkataan Dostoyevsky, Sartre berkata, “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu akan menjadi mungkin.” Manusia akan lepas dari cengkeraman kebenaran-kebenaran yang diproduksi dari luar, bebas dari beragam determinasi religius-etis dan menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Dengan konsep ini, humanisme Sartrian sebetulnya melaunching hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas. Manusia menggenggam dalam tangannya sendiri kebebasan untuk menentukan hidupnya. Dalam arti ini, kebebasan yang dimaksud Sartre tidak melulu berupa kondisi bebas dari tekanan dan determinasi, tetapi juga keleluasaan di dalam menjalankan tanggung jawab dan tindakan yang perlu bagi kemanusiaannya. Manusia selalu berupa aksi dan kreasi merealisasikan diri. “Ia tidak dapat lain selain serangkaian tindakan dengan dirinya sebagai rangkaian, organisasi, sekumpulan relasi yang menetapkan tindakan-tindakan ini”, begitu kata Sartre. Menentang tuduhan para komunis, Sartre menampilkan model manusia eksistensialnya sebagai manusia yang tidak berkubang dalam quetisme, tetapi bergerak maju merealisasikan diri. Manusia seperti ini memiliki komitmen-diri (self-commitment) atas kehidupannya dan karena itu selalu melibatkan dirinya melalui pilihan tindakan-tindakan subyektifnya.

Manusia versi Sartre memang bukan manusia yang cukup-diri. Kehadirannya selalu merupakan proyek yang belum tuntas terselesaikan. Nilai dan makna dari kemanusiaan manusia senantiasa ditentukan oleh setiap pilihan yang dibuat dan komitmen yang dijalani. Sehingga segala hal untuk, katakanlah kesempurnaan bagaimana menjadi manusia, sebetulnya terletak sepenuhnya pada manusia. Tetapi dengan ini Sartre tidak memaksudkan pandangan humanisme tradisional yang menempatkan manusia sebagai tujuan dari dirinya sendiri atau manusia sebagai nilai tertinggi. Sebab kemudian Sartre mengkonsepkan adanya tujuan-tujuan transenden yang pencapaiannya dimungkinkan oleh sifat manusia sebagai makhluk yang mampu melampaui dirinya (self-surpassing). Pelampauan atau transendensi ini tidak terarah pada tujuan tertentu seperti halnya dalam bahasa kristianitas,‘keserupaan dengan Allah’ atau ‘keselamatan kekal’. Manusia hanya perlu berupaya menyempurnakan kesadarannya sebagai manusia bebas dan bahwa keberlangsungannya bergantung sepenuhnya pada totalitas tindakan yang dipilihnya setiap hari. Dengan begitu manusia memang memberi jaminan untuk kehidupannya sendiri.

Kritik dan Aktualitasnya
1. Pembuktian Ketidakadaan Tuhan
Eksistensialisme ateistik Sartre memang telah memberangus keberadaan Tuhan. Secara eksplisit Sartre berujar bahwa gagasan “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu menjadi mungkin” merupakan poin awal yang penting bagi proyek eksistensialismenya. Ini berarti segala konsep tentang manusia sebagai ‘adalah’, ‘individu yang bebas’, ‘proyek yang tak pernah selesai’, ‘yang menentukan hidupnya sendiri’ merupakan buah dari pemberangusan Tuhan. Manusia sedemikian terisolir, sendirian, terlempar begitu saja ke dalam dunia dan karena itu memikul tanggung jawab besar untuk realisasi kemanusiaannya. Sebuah gambaran yang diandaikan tidak akan tercipta bila Sartre tidak menendang Tuhan jauh-jauh.
Dalam konteks ini penulis menilai bahwa Sartre sebetulnya tidak memberikan argumen yang adequat tentang ketidakadaan Tuhan. Sartre hanya menempatkan ketidakadaan Tuhan sebagai kondisi atau proposisi yang perlu untuk melegitimasi rangkaian konsepnya tentang subjektivisme manusia. Baginya ketiadaan Tuhan harus menjadi alasan yang mutlak perlu untuk menunjukkan kemandirian dan otonomitas absolut manusia atas hidupnya sendiri. Dengan tidak diikat oleh sistem nilai dan norma religius-etis, manusia sangat berpeluang mengaktivasi kebebasan dan tanggung jawab individual, merakit nilai-nilai secara selektif untuk kepentingannya saja tanpa perlu menanggung beban nilai produksi eksternal. Tapi bukankah dengan merampas legitimitas kebenaran tertinggi dari Sang Tuhan, Sartre merancang relativisasi kebenaran? Kebenaran menjadi sedemikian subjektif dan dalam hal ini argumen nilai tanggung jawab manusia pada sesamanya melalui pilihannya menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Jika misalnya kodrat kebernilaian manusia direlativisir, bagaimana mungkin Sartre menjadi sedemikian naif dengan merelakan pembasmian atas hak hidup sesamanya entah dalam perang atau aborsi dengan mengatasnamakan kebenaran subjektif belaka?
Sartre adalah anak zamannya. Ia hidup di tengah berkecamuknya perang dunia II, bergelut dengan perdebatan politik seputar dekolonialisasi Aljazair dan berkecimpung dalam upaya menelusuri jejak-jejak kekejaman Nazi Jerman. Kenyataan penderitaan dan kematian banyak manusia barangkali menjadi alasan bagi penendangan Tuhan dan segala sistem normanya. Sartre tidak mendapatkan kepastian kehadiran Tuhan di tengah situasi eksistensial seperti itu. Jika Tuhan dan agamanya tidak bertindak apapun maka di tangan manusialah perubahan itu semestinya dimulai. Manusialah yang mesti menentukan nasib dan keselamatannya sendiri. Itulah arti terdalam dari menjadi manusia.
Setiap fenomena eksistensial macam kecemasan, penderitaan dan kematian oleh bencana dan perang misalnya, memang menjadi saat-saat menentukan bagi manusia dan disposisi keberimananya pada Tuhan yang disembahnya. Seperti Sartre orang bisa menjadi sedemikian yakin bahwa Tuhan yang terkesan pendiam dan cuek itu tidak benar-benar ada. Tuhan hanyalah ciptaan, produk ketidaksanggupan manusia menentukan hidupnya sendiri. Pada titik ini Sөren Kierkegaard, seorang eksistensialis Kristen tampil mencerahkan kita melalui konsep ‘kebenaran sebagai subjektivitasnya’. Untuk dapat beriman kepada Tuhan, manusia perlu melakukan lompatan iman, bergerak mengatasi segala ketidakmungkinan mendapatkan kepastian objektif tentang Tuhan. Dengan kata lain, beriman tidak mengisyratkan secara mutlak kebenaran objektif tentang keberadaan Tuhan sebab itu berada di luar kompetensi manusia sebagai yang terbatas. Manusia hanya cukup memeluk keyakinan subjektifnya bahwa Tuhan ada dan selanjutnya menghidupi keyakinan itu dengan penuh hasrat dalam kesehariannya.

2. Pemaknaan Kebebasan
Sartre begitu mendewa-dewakan kebebasan.Kebebasan menjadi unsur konstitutif eksistensi manusia, hal yang memungkinkan realisasi-diri dan pemaknaan kehidupannya. Tetapi menjadi terlalu naif ketika Sartre merangkum totalitas manusia sebagai kebebasan. Pandangan ini sedemikian ilusif sebab hampir tak pernah ada kebebasan yang murni. Dalam kajian para strukturalis macam Jacques Lacan misalnya, manusia sejak kecil telah direnggut oleh sistem sosial, dikuasai oleh bahasa orang tua, disituasikan dan ditentukan oleh nama dan beragam peran sosial yang diembannya. Maka dalam konteks ini, pemaknaan kebebasan Sartrian mesti menemukan artikulasinya yang realistis.
Di masa sekarang, keseharian manusia ditandai oleh himpitan interpelatif beragam citra dan makna terberi yang diproduksi oleh sistem-sistem massa. Kehadiran media komunikasi massa macam televisi dan internet berikut segala tampilannya entah gambar, iklan, sinetron ataupun jejaring sosial sungguh merangsang reduktifikasi pemaknaan kemanusiaan. Orang ramai-ramai mengidentifikasikan diri dengan artis-artis idolanya, dengan karakter yang diproduksi sinetron dan film, atau melalui modus konsumsi mereka berupaya mengasimilasi makna yang melekat erat di balik materi atau gaya hidup tertentu. Bukankah kesadaran diri ini menjadi sedemikian manipulatif sebab lahir sebagai produk determinasi struktur sosial belaka?
Sartre tentu akan menggugat pemaknaan manusia yang artifisial seperti ini. Manusia selalu berada dalam proses dan karena itu apa-apa yang digumuli dalam dunia tidak pernah memberikan keselesaian bagi proses pergumulannya. Manusia tidak dapat didefinisikan secara terbatas sebab manusia adalah totalitas tindakan dan pergumulannya di sepanjang hidupnya. Maka konsep kebebasan Sartre menawarkan penciptaan ruang terus-menerus bagi kreasi dan kreativitas memberi makna bagi kemanusiaan manusia dengan membebaskan diri dari belenggu pencitraan sosial. Manusia selalu terbuka pada kemungkinan-kemungkinan, tidak cukup-diri, tetapi selalu terjun ke dalam pergumulan dengan menggenggam komitmen merengkuh kesadaran bahwa dirinya ikut bertanggung jawab(untuk tidak jatuh pada subjektivitas Sartrian yang terkesan tertutup dan antroposentrik) atas eksistensinya sebagai manusia dan sosialitasnya.
Kajian konsep Sartre tentang manusia merupakan tema yang sebetulnya kaya pun dalam hal implikasinya. Pembahasan paper ini mungkin sangat terbatas sebab hanya merupakan upaya meneropong konsep Sartre dalam bukunya, Existensialism is a Humanism. Maka kajian ‘manusia menurut Jean-Paul Satre” senantiasa terbuka bagi eksplorasi lanjut melalui perspektif karya-karya eksistensialismenya yang lain.


Referensi


Sabtu, 27 Mei 2017

Hakekat Manusia menurut August Comte



3 TAHAP PERADABAN MANUSIA MENURUT AUGUSTE COMTE

Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 – meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun) adalah seorang filsuf Perancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran.

Tahap-tahap pemikiran manusia menurut comte perkembangan manusia dibagi kedalam 3 tahap perkembangan yaitu yang pertama tahap teologik, kemudian berkembang ke tahap metafisika, dan akan berkembang ketahap yang terakhir yaitu tahap positif.

1.     TAHAP TEOLOGIK
 Tahap teologik bersifat melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu. Menurutnya benda-benda pada zaman ini merupakan ungkapan dari supernaturalisme, bermula dari suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang paling primitif. kemudian mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Dan kemudian menjadi monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan mutlak. Ini menurutnya adalah abad kekanak-kanakan.

2.     TAHAP METAFISIK
 
Tahap metafisik sebenarnya merupakan suatu masa dimana disini adalah masa perubahan dari masa teologik, dimana pada masa teologik tersebut seseorang hanya percaya pada satu doktrin saja dan tidak mencoba untuk mengkritisinya. Dan ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai bertanya-tanya dan mulai untuk mencari bukti-bukti yang nyata terhadap pandangan suatu doktrin. Tahap metafisik menggunakan kekuatan atau bukti yang nyata yang dapat berhubungan langsungdengan manusia. Ini adalah abad nasionalisme dan kedaulatan umum sudah mulai tampak, atau sring kali tahap ini disebut sebagai abad remaja.


3.     TAHAP POSITIF

Tahap positif  berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada tahap ini seseorang tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis ataupun secara metafisika. Pada tahap ini orang berusaha untuk menemukan hukum dari segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang pada akhirnya akan menghasilan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada tahap ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Tahap ini menurut Comte adalah suatu tahap yang berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, bahkan berlaku bagi setiap masing-masing individu itu sendiri. Ketika seorang masih perpandangan teologis berarti ia masih berfikiran kuno/ketinggalan zaman walaupun ia hidup dizaman yang modern. Dan ketika orang berfikiran realitas/nyata maka dia dapat sebagai seorang yang modern walaupun dimana saja mereka berada. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandangnya akan lebih
menjurus kepada tahap dalam keyakinan hati manusia.


Sumber : http://www.kompasiana.com/annajwa/bagaimana-pemikiran-filsafat-positivisme-menurut-auguste-comte_552921bf6ea83462668b459e